Senin, 20 Februari 2012

Bagaimana Konsep Kelas Akselerasi Berjalan?


Penyelenggaraan pendidikan sekolah yang dilaksanakan di Indonesia hingga saat ini masih lebih banyak bersifat klasikal massal yang berorientasi pada kuantitas untuk dapat menghasilkan jumlah siswa sebanyak-banyaknya. Kelemahan dalam orientasi ini adalah tidak terakomodasinya kebutuhan individual siswa. Siswa yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa tidak terlayani secara baik sehingga potensi yang dimilikinya tidak dapat tersalur dan berkembang secara optimal.
Sebagai salah satu usaha perbaikan pembelajaran di Indonesia yang bertujuan meningkatkan mutu pendidikan, maka diadakan program percepatan (akselerasi). Program ini merupakan pemberian layanan pendidikan sesuai potensi siswa yang memiliki kecerdasan dan kemampuan belajar yang tinggi. Hal ini sesuai Undang-Undang no 20 pasal 5 ayat 4 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menegaskan bahwa "Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus", dan Permendiknas no. 34/2006 tentang Pembinaan Prestasi Peserta Didik yang memiliki Potensi Kecerdasan dan / atau Bakat istimewa.
Pada dasarnya kemampuan anak memang berbeda, yang membedakan adalah waktu belajar. Akan tetapi apabila diberi layanan sesuai dengan keadaan masing-masing, maka hasilnya akan sama. Siswa yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa perlu mendapatkan penanganan dan program khusus, sehingga potensi kecerdasan dapat berkembang secara optimal. Pengembangan program bagi siswa yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa didasarkan prinsip utama, yaitu akselerasi. Program percepatan belajar (akselerasi) merupakan program layanan pendidikan yang diberikan kepada siswa yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa untuk dapat menyelesaikan masa belajarnya lebih cepat dari siswa yang lain (program regular).
Manajemen program kelas akselerasi sangat diperlukan agar tujuan program kelas akselerasi dapat tercapai dengan maksimal. Mengelola program kelas akselerasi artinya mengatur agar seluruh yang terkait dengan program kelas akselerasi itu berfungsi secara optimal dalam mendukung tercapainya program kelas akselerasi. Kelas akselerasi dapat ditempuh satu tahun lebih cepat dari waktu yang dibutuhkan pada kelas reguler. Akselerasi merupakan proses percepatan belajar siswa, berarti siswa yang memiliki kecepatan dalam belajar dapat mengikuti pelajaran berikutnya. Kegiatan pembelajaran ini difungsikan sebagai sarana penguat menuju level berfikir tinggi melalui model pembelajaran.
Modal yang diperuntukkan bagi peserta didik cerdas dan berbakat istimewa pada kegiatan pembelajaran kelas akselerasi tidak cukup hanya dengan standar isi dan standar kompetensi. Dalam kelas akselerasi, pihak sekolah meningkatkan bobot materi pelajaran dan kegiatan pembelajaran. Guru dituntut untuk lebih mengetahui menu pembelajaran dengan materi yang sesuai dengan karakter siswa. Sehingga diperlukan guru yang profesional yang dapat membimbing siswa dalam mengembangkan kemampuannya, maka manajemen belajar perlu diatur.
Sehingga image kelas akselerasi yang timbul adalah bahwa pembelajaran pada kelas akselerasi berarti suatu proses percepatan (acceleration) pembelajaran yang dilakukan oleh peserta didik yang memiliki kemampuan luar biasa (unggul) dalam rangka mencapai target kurikulum Nasional dengan mempertahankan mutu pendidikan sehingga mencapai hasil yang optimal. Dengan kata lain peserta didik dapat menyesuaikan cara belajarnya lebih cepat dari siswa lainnya (siswa yang mengikuti program reguler). Secara singkat akselerasi mengandung pengertian:
1.      Sebagai model pembelajaran yaitu lompat kelas, dimana peserta didik berbakat yang memiliki kemmampuan unggul diberi kesempatan untuk mengikuti pelajaran pada kelas yang lebih tinggi.
2.      Kurikulum atau akselerasi program, menunjuk pada peringkasan program sehingga dapat dijalankan dalam waktu yang lebih cepat.
3.      Memperoleh konten materi dengan irama yang lelbih dipercepat sesuai dengan kemampuan potensial siswa.
Dalam teknis pelaksanaan pembelajaran, kelas akselerasi umumnya dilayani lebih istimewa, lebih khusus, terisolasi, lingkungan belajar yang lebih kaya daripada kelas biasa. Di beberapa tempat kelas akselerasi identik dengan kelas eksekutif karena ruangannya ber-AC dan perabot yang serba luks. Padahal, pada dasarnya percepatan belajar (accelerated learning) menurut pengertian, adalah sebagai sebuah metode atau strategi pembelajaran pada dasarnya mengakui bahwa setiap manusia memiliki cara belajar yang dapat mengantarkan dirinya menjadi yang terbaik.
Ketika seseorang belajar tentang sesuatu yang secara eksak sesuai dengan gaya belajarnya, maka dia akan belajar dalam cara yang natural. Karena belajar berlangsung natural, maka menjadi lebih mudah. Karena menjadi lebih mudah, maka belajar menjadi lebih cepat. Itulah mengapa kemudian disebut pembelajaran akselerasi. Artinya, prinsip percepatan belajar berlaku bagi semua siswa kategori apa pun, tidak hanya bagi kelompok siswa tertentu. Pijakan utama percepatan belajar adalah didasarkan pada karakteristik siswa.
Menurut Drs. B. Suryo Subroto (1997:123) akselerasi dikenal dengan nama maju berkelanjutan yang artinya adalah sistem administrasi kurikulum yang memberikan kesempatan pada setiap siswa dapat mengikuti pelajaran sesiau irama kecepatan belajrnya sendiri. Maju berkelanjutan dibagi menjadi 3 sistem, yaitu :
1.      maju berkelanjutan kelompok
2.      maju berkelanjutan individu
3.      maju berkelanjutan berdasarkan perbedaan studi
         Terdapat tiga bentuk atau model penyelenggaraan sekolah akselerasi[1], yakni: (1) Kelas reguler, dimana peserta didik berada dalam kelas reguler pada sekolah reguler namun memperoleh perlakuan akselerasi sehingga dapat loncat kelas dan dapat menyelesaikan pendidikan di sekolah itu lebih awal dibanding teman-temannya. (2) Kelas khusus, dimana beberapa peserta didik dikelompokkan berada dalam kelas khusus pada sekolah reguler namun memperoleh perlakuan akselerasi sehingga dapat menyelesaikan pendidikan di sekolah itu lebih awal dibanding kelas reguler. (3) Sekolah khusus yakni beberapa peserta didik masuk pada sekolah khusus akselerasi memperoleh perlakuan akselerasi dengan waktu pendidikan lebih singkat dibanding sekolah regular.

B.     Impelementasi Kelas Akselerasi
Saat ini disebutkan terdapat lebih dari 130 sekolah dari tingkat TK hingga SMA di Indonesia yang menyelenggarakan program kelas akselerasi dengan murid lebih dari 3.000 orang.[2] Seperti yang disebutkan di sebelumnya, konsep ini awalnya adalah menempatkan siswa yang berbakat dalam pembinaan khusus, sehingga hasil akhir yang diharapkan adalah siswa tersebut menjadi istimewa.
Namun selama ini perkembangan yang adalah program kelas akselerasi hanya dimaknai sebagai kelas percepatan dengan meringkas masa studi lebih padat dalam penyampaian materinya, sehingga masa studi menjadi lebih pendek. Sebagai contoh, kelas regular di SMA seharusnya tiga tahun menjadi dua tahun dengan menggunakan kelas akselerasi.
Seiring perkembangannya, dengan menerapkan kelas akselerasi, siswa yang terpilih dalam pengembangan program ini cenderung dikhawatirkan menjadi eksklusif karena selama berada di sekolah ada di kelas khusus akselerasi, sedikit kesempatan bersinggungan dengan siswa atau kondisi reguler. Kelas akselerasi lebih terlihat ekslusif dan membuat siswanya merasa lebih dibandingkan dengan siswa reguler sehingga membuat kelompok-kelompok dalam sekolah.  
Disamping itu, pembinaan potensi anak-anak yang tergabung dalam kelas tersebut juga terbilang masih kurang terarah, hanya berpedoman pada percepatan dan pemadatan materi pembelajaran, mengenai proyeksi potensi siswa kurang diperhatikan. Setelah anak-anak itu lulus dari satuan pendidikan, untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya mereka tetap mengikuti tes seperti siswa lain umumnya. Mereka tidak disalurkan dengan pembinaan yang berkesinambungan ke jenjang berikutnya.
Oleh karena itu, pedoman pelaksanaan kelas akselerasi itu diubah. Kelas itu bukan sekadar program percepatan tahun bersekolah, melainkan merupakan pengayaan dan pendalaman bagi anak, khususnya untuk Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.[3]
Penyaringan atau seleksi dilakukan untuk memilah, memilih dan menentukan urutan peringkat dari berbagai hal baik dari kecerdasan (IQ), prestasi akademik, kesehatan fisik, minat anak, dukungan orangtua, dan prestasi non akademik.
Oleh sebab itu lazimnya seleksi masuk sekolah akselerasi didasarkan pada:
1.   Aspek akademik meliputi nilai rapor minimal 8,0, nilai UN/UAN/UASBN minimal 8,0,  dan nilai tes masuk minial 8,0.
2.  Aspek psikis meliputi IQ minimal 125, memiliki keberbakatan yang menonjol, memiliki kreativitas tinggi, dengan bukti surat keteranga/piagam dan karya nyata.
3.   Memiliki prestasi bidang non akademik dari berbagai kejuaraan serendah-rendahnya tingkat provinsi.
4.  Kesehatan fisik dengan surat keterangan dokter.
5.   Minat dan kesanggupan dari siswa, dibuktikan dari hasil tes minat dan dengan surat pernyataan.
6.   Dukungan dan persetujuan orangtua, dengan surat pernyataan dan kesanggupan.
           Dengan mengikuti kelas akselerasi secara prestis dari segi output nilainya lebih baik, proses dan semangat belajar di kelas juga lebih efektif. Namun kelemahannya adalah anak yang mengikuti kelas akselerasi lebih cenderung individualistis, sehingga pihak sekolah harus mengikutsertakan mereka dalam kegiatan yang sama dengan kelas lainnya agar tidak merasa eksklusif.

Kurikukum Kelas Akselerasi
Kurikulum sekolah akselerasi pada dasarnya sama dengan sekolah reguler, namun kurikulum akselerasi memfasilitasi percepatan dan pengayaan belajar untuk mengembangkan siswa ke arah yang lebih positif bagi perilaku kognitif, kreativitas, komitmen terhadap tugas, perilaku kecerdasan emosi, dan kecerdasan spiritual. Oleh sebab itu kurikulum akselerasi memiliki ciri-ciri sebagai berikut.:
1.      Kurikulum yang menekankan pada materi esensial dan dikembangkan melalui sistem pembelajaran yang dapat memacu dan mewadahi integrasi antara pengembangan spiritual, logika, etika, dan estetika, serta dapat mengembangkan kemampuan berfikir holistik, kreatif, sistemik, dan sistematik, linier, konvergen, dan terfokus.
2.      Kurikulum dikembangkan secara berdiferensiasi yang menyangkut empat dimensi yang saling berhubungan, yakni;
a.       Dimensi umum, yaitu kurikulum yang memberikan keterampilan dasar, pengetahuan, pemahaman, nilai, dan sikap, yang memungkinkan siswa berfungsi sesuai tuntutan masyarakat dan tuntutan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi.
b.      Dimensi diferensiasi, yaitu kurikulum yang berkaitan erat dengan ciri khas perkembangan siswa cerdas dan berbakat istimewa, yang merupakan program khusus dan pilihan terhadap bidang studi tertentu.
c.       Dimensi non akademik, yaitu bagian kurikulum yang memberi kesempatan kepada siswa untuk belajar di luar kegiatan sekolah formal melalui media lain seperti radio, televisi, internet, CD-ROM, wawancara pakar, kunjungan ke musium, dan sebagainya.
d.      Dimensi suasana belajar, yaitu pengalaman belajar yang dijabarkan dari lingkungan keluarga dan sekolah. Iklim akademik, sistem pemberian hadiah dan hukuman, hubungan antar sesama siswa, hubungan antara guru dan siswa, hubungan antar guru, dan hubungan antara siswa dan orangtua, merupakan unsur-unsur lingkungan suasana  belajar yang menentukan proses dan hasil belajar.
3.      Kurikulum berdiferensiasi dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan siswa yang cerdas dan berbakat dengan cara memberikan pengalaman belajar yang berbeda dalam arti kedalaman, keluasan, percepatan, maupun dalam jenisnya. Modifikasi kurikulum dapat dilaksanakan dengan cara:
a.       Mengenalkan isi kurikulum tertentu yang tidak diperoleh siswa kelas regular
b.      Memberi materi pelajaran secara lebih luas, mendalam, dan intensif.
c.       Memberi pengalaman baru yang tidak terdapat dalam kurikulum umum.
d.      Memberi pengalaman belajar berdasarkan keterlibatan masyarakat sekitar, melalui kerjasama dengan instansi baik pemerintah maupun swasta bagi kepentingan siswa maupun instansi.
4.      Dalam pelaksanaannya, program kegiatan belajar dapat dilakukan secara tatap muka dengan guru pembina, dengan pakar, atau belajar sendiri berdasarkan bahan yang diberikan guru pembina atau yang dipilih sendiri oleh siswa, atau berdasarkan modul pengayaan.
5.      Struktur program kurikulum sekolah akselerasi sama dengan sekolah/kelas reguler, bedanya adalah tempo waktu penyelesaian materi kurikulum yang lebih cepat dibanding sekolah/kelas reguler.
6.      Kegiatan belajar-mengajar diarahkan pada terwujudnya proses belajar tuntas. Selain itu strategi pembelajaran juga diarahkan untuk memacu siswa lebih aktif dan kreatif sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuan masing-masing siswa


Dampak Kelas Akselerasi
Penerapan program akselerasi berdasarkan undang-undang diperbolehkan, yaitu undang-undang nomor 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional pasal 8 ayat 2. Melalui program akselerasi, anak akan mendapat keuntungan, karena memperoleh bantuan pengajaran seusai dengan bakat dan intelektualnya. Dengan program percepatan diharapkan siswa berbakat tidak bosan dikelas, sehingga tidak menganggu, mengacau kelas, dan anak dapat maju terus dengan cepat.
Namun program yang diberlakukan sejak 2004 ini tentu saja masih terdapat kekurangan maupun perlu adanya evaluasi. Tak sedikit yang berpendapat bahwa kelas akselerasi justru membuat siswa tidak bisa mengembangkan kemampuan sosialisasi mereka. Dalam pandangan mereka, anak-anak berbakat itu tak beda dengan anak pada umumnya yang membutuhkan lingkungan bergaul yang sepadan dengan emosi anak. Anak-anak tersebut pada dasarnya juga membutuhkan penghargaan, perwujudan diri, dan pendidikan nilai kemanusiaan. Pendeknya, dibutuhkan pemikiran matang sebelum memasukkan anak pada program akselerasi. Dan menurut Meier, dalam pendidikan anak, tidak dapat dipisahkan antara pikiran, pengetahuan, tubuh, emosi, indera dan lingkungannya.
Pandangan dan penilaian individu terhadap dirinya disebut dengan konsep  diri, yang akan mempengaruhi individu dalam bertingkah laku ditengah  masyarakat (Burns, 1993). Hurlock (1999) menjelaskan bahwa individu dengan  penilaian positif terhadap dirinya akan menyukai dan menerima keadaan dirinya  sehingga akan mengembangkan rasa percaya diri, harga diri, serta dapat  melakukan interaksi sosial secara tepat. Rasa percaya diri dan harga diri yang  tumbuh seiring dengan adanya keyakinan terhadap kemampuan dirinya membuat  individu cenderung tampil lebih aktif dan terbuka dalam melakukan hubungan  sosial dengan orang lain. Relasi sosial yang luas akan menjadikan inidividu mampu mengerti dan melakukan apa yang diharapkan oleh lingkungan, sehingga  memudahkannya untuk menyesuaikan dengan keadaan lingkungan.
Sebaliknya, individu dengan konsep diri negatif adalah individu yang mempunyai pandangan negatif terhadap dirinya, ia menilai dirinya sebagai figur yang mengecewakan. Penilaian yang negatif terhadap diri sendiri akan mengarah pada penolakan diri, sehingga individu akan cenderung mengembangkan perasaan tidak mampu, rendah diri, dan kurang percaya diri. Individu merasa tidak percaya diri ketika  harus berpartisipasi dalam suatu aktivitas sosial dan memulai hubungan baru  dengan orang lain. Penolakan diri juga dapat memicu munculnya sikap agresif dan perilaku negatif, sehingga individu menjadi tertutup dan kurang tertarik untuk menjalin hubungan sosial dengan orang lain. 
Karena itu timbul kesalahpahaman tentang makna dari pandai, cerdas atau pintar. Ketika orang tua misalnya mengetahui anaknya punya IQ tinggi, bernilai bagus dan gemar membaca buku, orang tua bergegas memasukkan anak pada program akselerasi, bahkan berusaha melobi sekolah agar anaknya bisa loncat kelas. Padahal secara emosi anak tersebut belum tentu dapat menyesuaikan dan masih senang bermain-main dengan teman sebayanya atau bermanja-manja dengan orang tuanya.
a.      Dampak sosial
Usia siswa-siswa SMP dapat dikategorikan dalam masa remaja awal, yaitu  12-15 tahun (Monks, Knoers, & Haditono, 2004). Memasuki masa remaja, anak  mulai melepaskan diri dari ikatan emosi dengan orang tuanya dan menjalin sebuah hubungan yang akrab dengan teman-teman sebayanya. Havighurst  (dalam Hurlock, 1997) menjelaskan beberapa tugas perkembangan remaja yang berhubungan dengan perkembangan sosial emosional, yaitu menjalin hubungan  dengan teman sebaya baik pria maupun wanita,  mencapai suatu peran sosial  baik bagi pria maupun wanita sesuai dengan jenis kelaminnya, melakukan  perilaku sosial yang diharapkan, dan mencapai suatu kemandirian sosial dari  orang tua dan dewasa disekitarnya. Salah satu tugas perkembangan masa remaja  yang tersulit ialah berhubungan dengan penyesuaian sosialnya.
Remaja harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam suatu hubungan yang belum pernah dialami sebelumnya dan harus menyesuaikan dengan orang dewasa diluar lingkungan keluarga dan sekolah.  Menurut Iswinarti (2002), sebagian anak dengan IQ tinggi akan mengalami kesulitan dalam penyesuaian sosial, karena anak dengan IQ tinggi mempunyai pemahaman yang lebih cepat dan cara berpikir yang lebih maju sehingga sering  tidak sepadan dengan teman-temannya. Kondisi tersebut semakin tidak diuntungkan dengan adanya labelling dari lingkungan sekitar terhadap siswa akselerasi. Mead (dalam Burns, 1993) menjelaskan pandangan, penilaian, dan perasaan individu mengenai dirinya yang timbul sebagai hasil dari suatu interaksi  sosial sebagai konsep diri. Konsep diri mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap perilaku individu, yaitu individu akan bertingkah laku sesuai dengan konsep diri yang dimiliki (Rahmat, 1996).
 Pernyataan tersebut didukung oleh Burns (1993) yang menyatakan bahwa konsep diri akan mempengaruhi cara individu dalam bertingkah laku ditengah masyarakat. Label yang diberikan pada siswa akselerasi sebagai anak pintar dapat dipersepsi negatif atau positif oleh individu yang bersangkutan. Label yang dipersepsi negatif membuat individu menjadi terbebani, hal tersebut cenderung akan membawa efek negatif terhadap perkembangan sisi psikologisnya. Individu akan merasa gagal dan terbuang ketika tidak dapat memenuhi tuntutan lingkungan, serta menjadi tidak percaya diri, merasa tidak berharga, dan rendah diri. Kondisi ini diperburuk dengan adanya fenomena di masyarakat yang menunjukkan bahwa aspek kognitif lebih dihargai daripada aspek sosial emosional. Hal tersebut dapat menimbulkan perasaan tertolak yang memicu munculnya konsep diri negatif pada siswa akselerasi
Sehingga berpengaruh buruk terhadap kehidupan sosialnya. Label yang dipersepsi positif oleh siswa membuat individu menjadi pribadi yang merasa berharga, percaya diri, dan berkemampuan tanpa harus menjadi sombong. Hal tersebut dapat menunjang adanya penerimaan siswa terhadap keadaan dirinya, sehingga dapat membuat konsep diri siswa akselerasi menjadi positif.   Perbedaan jenis kelamin diprediksikan turut mempengaruhi keberhasilan penyesuaian sosial siswa. Asyanti, Sofiati, dan Sudardjo (2002) menyatakan bahwa terdapat perbedaan penyesuaian sosial antara perempuan dan laki-laki,  yaitu perempuan cenderung lebih mudah untuk melakukan penyesuaian sosial  bila dibandingkan dengan laki-laki. Perbedaan penyesuaian sosial ini disebabkan karena perempuan mempunyai perasaan yang lebih peka bila dibandingkan dengan laki-laki sehingga lebih mudah menghayati perasaan orang lain, dan cenderung mempunyai hubungan sosial yang lebih akrab dibandingkan laki-laki. 
Faktor budaya juga diprediksikan ikut andil terhadap penyesuaian sosial  individu, sebab latar belakang budaya akan mempengaruhi pembentukan sikap, nilai, dan norma seseorang (Schneiders, 1964). Individu yang hidup dalam lingkup budaya tertentu akan mengadaptasi nilai-nilai sosial yang didapat dari lingkungannya dan akan diterapkan dalam kehidupannya 
Untuk mengatasi berbagai persoalan tersebut, hendaknya pihak sekolah mampu menciptakan program seperti ekstrakurikuler yang bersifat general, artinya mampu diikuti oleh siswa kelas reguler ataupun akselerasi secara bersama-sama dan membaur. Seperti: kemah sosial, karya wisata, dan lomba antarkelas. Diharapkan program-program tersebut membuat siswa akselerasi lebih mengenal dan membaur dengan siswa reguler, bahkan dapat mengembangkan solidaritas sehingga tidak timbul kelompok-kelompok di dalam sekolah.
Memang tidak mudah untuk masuk kelas akselerasi, disamping persyaratan yang cukup berat, program kelas akselerasi masih sedikit peminatnya. Seperti contoh pada siswa di SMA N 3 Semarang, siswa yang ingin memasuki kelas akselerasi harus lulus tes akademis dan psikologi, nilai rapor kelas VII hingga kelas IX rata-rata harus 8. Dari jumlah 435 siswa yang diterima, untuk kuota kelas akselerasi 20 tempat duduk, hanya sekitar 13 persen siswa yang mengikuti tes psikologi untuk memasuki kelas akselerasi.[4]
b.      Dampak Psikologis
Memang secara kognitif para siswa kelas akselerasi dapat berkembang, akan tetapi dengan kesibukan yang luar biasa akibat materi akselerasi tersebut akhirnya porsi kehidupan sosialnya berkurang. Berbagai pengalaman sosial sebaya tidak dialami oleh siswa kelas akselerasi, mengingat porsi pembelajaran siswa akselerasi lebih banyak dibandingkan dengan siswa reguler.  Permasalahan lainnya, dapat terjadi beberapa siswa yang masuk kelas akselerasi bukan karena keinginannya (dorongan dari dalam) melainkan karena orang tuanya, karena dorongan tertekan takut atau ingin menyenangkan orang tua. Sehingga bagi siswa seperti itu, proses belajarnya tidak dapat maksimal dan tentu juga berdampak terhadap hasilnya.
Sehingga memang secara psikologis pada dasarnya anak-anak akselerasi ini sangat rawan dari segi mentalnya. Akselerasi pendidikan mungkin dapat dilakukan, namun tetap saja secara psikologis dan mental mental harus memerlukan waktu dan tidak dapat dilakukan akselerasi.  Ketidaksesuaian umur dengan jenjang pendidikan merupakan suatu masalah dalam psikologis siswa itu sendiri.


c.      Dampak terhadap Perkembangan Anak
Sekalipun siswa kelas akselerasi memilliki loncatan perkembangan kognitif dan motorik kasar, terapi mereka dapat tertinggal pada kematangan perkembangan, baik fisik, emosi, motorik halus, adaptasi, sosial, bahasa, dan bicara. Ini yang menyebabkan ketidaksiapan menerima pembelajaran. Bisa juga karena membutuhkan pendekatan khusus, mereka sulit berprestasi di kelas konvensional atau klasikal.
Siswa kelas akselerasi pada umumnya dihadapkan pada dua masalah. Mengeliminasi kesulitan akibat perkembangannya yang unik, dan juga sekaligus keberbakatannya. Jika kelas akselerasi dianggap sebagai solusi dan mengatasi beberapa masalah saja, dari banyak laporan, justru timbul masalah baru. Kondisi ini disebabkan karena dorongan internal anak-anak berbakat adalah memenuhi rasa keingintahuannya yang besar melalui eksplorasi dan pengembangan intelektualitasnya. Dorongan tersebut pada dasarnya membutuhkan penyaluran dan pemenuhan kebutuhan, dan wajib dipenuhi guna perkembangan anak normal.
Apabila hanya mengupayakan kelas akselerasi saja, anak sulit terdeteksi sebagai anak berbakat dan juga tidak akan menerima pendidikan sebagaimana keunikan, kesulitan, dan kebutuhannya. Kesemua ini mengancam nasibnya di kemudian hari. Apa yang dibutuhkannya dalam pendidikannya adalah bimbingan guru yang memahami berbagai karakteristiknya, personalitasnya, tumbuh kembangnya, gaya berpikir, dan gaya belajarnya, yang memang berbeda dari anak-anak normal pada umumnya.
Mereka membutuhkan pendekatan pembelajaran dua arah sekaligus. Pertama ke arah kesulitannya di mana ia membutuhkan dukungan, stimulasi, terapi, remedial teaching, dan kesabaran. Kedua, membutuhkan berbagai materi yang sesuai dengan karakteristik berpikir seorang anak berbakat yang lebih kepada materi yang penuh tantangan pengembangan kreativitas dan analisis.
Sekolah reguler yang mampu menerima anak-anak berbakat diharapkan agar dapat mengikuti pendidikan saat di fase-fase sulitnya di kelas-kelas sekolah dasar bersama anak normal lainnya, sekaligus juga menerima layanan pengembangan keberbakatan, disebut sekolah inklusi. Guru diharapkan dapat membimbingnya menapaki tahapan tumbuh kembangnya yang sulit tersebut dalam situasi aman agar ia dapat tumbuh dan berkembang secara sehat dalam lingkungan yang nyaman.
Guna memenuhi hal ini, guru perlu mendapatkan pelatihan-pelatihan yang memadai dan selalu mengikuti penyegaran keilmuan guna mengikuti perkembangan strategi pengajaran yang didukung oleh hasil-hasil penelitian mutakhir (evidence based practice) yang kini sangat pesat berkembang.

 Kelas Akselerasi lewat kacamata Pendekatan Kognitif
Sebagai suatu pendekatan, maka psikologi kognitif dapat dipandang sebagai cara tertentu di dalam mendekati berbagai fenomena psikologi manusia. Konsep ini menekankan pada peran-peran persepsi, pengetahuan, ingatan, dan proses-proses berpikir bagi perilaku manusia. Di dalam dunia psikologi, mempelajari psikologi kognitif sangat diperlukan, dikarenakan:
1.      Kognisi adalah proses mental atau pikiran yang berperan penting dan mendasar bagi studi-studi psikologi manusia.
2.      Pandangan psikologi kognitif banyak mempengarui bidang-bidang psikologi yang lain. Misalnya pendekatan kofnitif banyak digunakan di dalam psikologi konseling, psikologi konsumen dan lain-lain.
3.      Melalui prinsiprinsip kognisi, seseorang dapat mengelola informasi secara efisien dan terorganisasikan dengan baik.
Kelas akselerasi pada awalnya dianggap sebagai solusi terbaik untuk  memenuhi kebutuhan belajar bagi siswa dengan IQ tinggi, karena sesuai dengan  pendapat Terman (dalam Hawadi, 2004) yang menyatakan bahwa siswa dengan  IQ di atas normal akan superior dalam kesehatan, penyesuaian sosial, dan sikap  moral.  Kesimpulan ini menimbulkan mitos bahwa siswa dengan IQ tinggi adalah  anak yang berbahagia dan mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan.
Namun, sebagian kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kelas akselerasi tidak sebaik yang diharapkan dan ditengarai membawa dampak negatif terhadap  kehidupan sosial siswa. Siswa menjadi berkurang kesempatannya untuk bergaul  dan berinteraksi dengan teman karena dituntut untuk selalu berhadapan dengan  materi pelajaran, bahkan jam-jam yang seharusnya digunakan untuk program ekstrakurikuler juga dialokasikan untuk praktikum atau evaluasi materi pelajaran.
Terkesampingkannya aspek sosial emosional dalam kehidupan sehari-hari  tampak pada fenomena dari para orang tua yang cenderung lebih bangga melihat  anaknya menjadi juara kelas daripada menjadi penolong bagi temannya yang  mengalami kesulitan pelajaran. Kenyataan di masyarakat juga menunjukkan  bahwa aspek kognitif cenderung lebih dihargai daripada aspek sosial emosional.  Hal tersebut tampak pada iklan di media massa, yang menunjukkan bahwa anak dinilai hebat jika mampu memecahkan persoalan matematis yang rumit dan seakan-akan melupakan pentingnya kemampuan berinteraksi dengan lingkungan.
Kelas akselerasi merupakan kelas percepatan pembelajaran yang disajikan kepada siswa-siswa yang memiliki kemampuan lebih atau istimewa dengan materi-materi atau kurikulum yang padat sehingga dalam waktu dua tahun siswa telah menyelesaikan pendidikannya. Dave Meier (2002:25-26) menulis beberapa prinsip pokok akselerasi pembelajaran, yaitu:
1.      Adanya keterlibatan total pembelajar dalam meningkatkan pembelajaran.
2.      Belajar bukanlah mengumpulkan informasi secara pasif, melainkan menciptakan pengetahuan secara aktif.
3.      Kerjasama diantara pembelajar sangat membantu meningkatkan hasil belajar.
4.      Belajar berpusat aktivitas sering lebih berhasil daripada belajar berpusat presentasi.
5.      Belajar berpusat aktivitas dapat dirancang dalam waktu yang jauh lebih singkat daripada waktu yang diperlukan untuk merancang pengajaran dengan presentasi.
Menurut Socrates dan John Dewey, belajar merupakan suatu kegiatan yang dilakukan secara mental dan fisik yang diikuti dengan kesempatan merefleksikan hal-hal yang dilakukan dari hasil perilaku tersebut. Menurut prinsip konstruktivisme, seorang pengajar atau guru, dan dosen berperan sebagai mediator dan fasilitator yang membantu proses belajar siswa dan mahasiswa agar berjalan dengan baik.
Fungsi mediator dan fasilitator dapat dijabarkan dalam beberapa tugas sebagai berikut:
1.      Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa bertanggungjawab dalam membuat rancangan, proses, dan penelitian.
2.      Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa.
3.      Memonitor, mengevaluasi, dan menunjukkan apakah pemikiran si siswa jalan atau tidak.
Sebagai sebuah proses pendidikan, dalam pelaksanaan kelas akselerasi berarti sangat memerlukan pentahapan yang matang. Seperti pada dataran pengajar/pendidik yang dimana para guru yang menangani pendidikan akselerasi hendaknya perlu mengikuti bimbingan dan pelatihan dan pembekalan-pembekalan.
Jika kecerdasan dipakai sebagai alat identifikasian, maka dalam kelas akselerasi ini kecerdasan adalah semata-mata kategori untuk mengidentifikasi karakteristik siswa. Dengan demikian, sudahsemestinya program percepatan belajar diberikan kepada kelompok siswa kategori apa pun. Jikasekolah akan melaksanakan program percepatan belajar berdasarkan identifikasian kecerdasan,maka harus ditujukan untuk semua anak sesuai dengan kecenderungan kategori kecerdasan mereka.
Identifikasian kecerdasan dengan skor IQ, seperti yang sekarang dilakukan banyak sekolah untuk membuat kelas yang disebut unggulan, telah membuat tindakan sekolah diskriminatif bahkan sesat dalam memberikan pelayan belajar siswa secara keseluruhan. Sebab, sekolah menganggap siswa yang tidak mencapai skor IQ 120 termasuk ke dalam kelompok siswa yang tidak perlu mendapat pelayanan belajar lebih.
Implementasi program percepatan belajar versi Depdiknas yang didasarkan pada identifikasian skor  IQ  yang  dilakukan  sekolah  saat  ini  akan  menimbulkan  dampak  buruk.  Pertama, menimbulkan kecemburuan karena perlakuan yang diskriminatif. Guru akan lebih banyakmenaruh perhatian kepada kelas khusus ini ketimbang kelas biasa. Di satu sisi melindungi hak asasi anak yang dianggap luar biasa untuk mendapatkan pelayanan lebih, tetapi sesungguhnya di sisi lain juga terjadi pelanggaran hak asasi karena siswa biasa pun berhak mendapatpelayanan maksimal.
Kedua, menimbulkan rasa teralienasi (tersisihkan dari lingkungan sekolah) bagi sebagian besar siswa dikategorikan kurang cerdas, yang akan memicu rendahnya motivasi belajar, dan bahkanmungkin akan memicu perilaku menyimpang karena mereka merasa karakternya telah terbunuh oleh sistem kelas yang diciptakan sekolah.Ketiga, demikian sebaliknya, ada peluang bagi sebagian siswa yang termasuk ke dalam kelasunggulan akan berperilaku egois, angkuh, dan cenderung tidak mau mendengar pendapat oranglain. Testimoni kepada beberapa orangtua yang anak-anaknya pernah termasuk ke dalam kelascepat di SMA PPSP tahun 1980-an menampakkan gejala-gejala psikologis seperti itu.
Teori baru  telah  menunjukkan  bahwa  kecerdasan  berdimensi  majemuk.  Teori  multipleintelligences Howard Gardner yang telah teruji secara empiris di dalam kelas, yang juga didukung temuan-temuan di bidang neuro science tentang fungsi otak kanan dan otak kiri, adalah teori baru yang layak dijadikan landasan teori untuk membuat kategori kecerdasan siswa. Gardner telah mengidentifikasi kecenderungan kecerdasan manusia menjadi sembilan jenis,yaitu linguistik, logiko - matematikal, musikal, spasial-visual, kinestetik - jasmani, intrapersonal, interpersonal, naturalis, dan spiritual atau eksistensial.
Orang yang kurang cerdas di bidang logiko - matematikal mungkin cerdas luar biasa di bidang musik, mungkin kinestetik, mungkin spasial-visual. Sementara identifikasi kecerdasan anak yang didasarkan pada skor IQ, notabennya  mengukur  kecerdasan  logika-matematikal  dan  sedikit  linguistik.  
Oleh  karena  itu, identifikasian  kecerdasan  luar  biasa  yang  hanya  ditentukan  berdasarkan  skor  IQ  hanya mengukur dua dimensi saja. Betapa  indahnya  sekolah  jika  dapat  melayani  semua  karakteristik  siswa  sesuai  dengan kecenderungan kecerdasannya secara optimal. Tidak hanya sekelompok kecil siswa yang cerdas logiko-matimatikal saja yang mendapat pelayanan khusus, tetapi juga kelompok-kelompok siswa yang memiliki kecenderungan kecerdasan yang lain.




[1] Depdiknas, 2003
[2] Eko Djatmiko, Direktur Pendidikan Luar Biasa, Departemen Pendidikan Nasional-RI
[4] Kelas akselerasi ganggu masalah social siswa. Antara News.com Senin, 5 Juli 2010