Kualitas Pendidikan di
Indonesia
Memasuki abad ke - 21 gelombang
globalisasi dirasakan kuat dan terbuka. Kemajaun teknologi dan perubahan yang
terjadi memberikan kesadaran baru bahwa Indonesia tidak lagi berdiri sendiri.
Indonesia berada di tengah-tengah dunia yang baru, dunia terbuka sehingga orang
bebas membandingkan kehidupan dengan negara lain. Terutama pada aspek
pendidikan, adanya ketertinggalan didalam mutu pendidikan. Baik pendidikan
formal maupun informal. Dan hasil tersebut diperoleh setelah membandingkannya
dengan negara lain. Pendidikan memang telah menjadi penopang dalam meningkatkan
sumber daya manusia Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh karena itu, sudah
seharusnya perlu dilakukan peningkatan sumber daya manusia Indonesia yang tidak
kalah bersaing dengan sumber daya manusia di negara-negara lain lewat
pendidikan.
Selama
ini, banyak pendapat beranggapan bahwa pendidikan formal dinilai hanya menjadi
formalitas saja untuk membentuk sumber daya manusia Indonesia. Tidak perduli
bagaimana hasil pembelajaran formal tersebut, yang terpenting adalah telah
melaksanakan pendidikan di jenjang yang tinggi dan dapat dianggap hebat oleh
masyarakat. Anggapan seperti itu jugalah yang menyebabkan efektifitas
pengajaran di Indonesia sangat rendah. Data Batlibang (2003) menunjukkan hasil
bahwa kualitas pendidikan Indonesia masih rendah. Bahwa dari 146.052 SD di
Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia
dalam kategori The Primary Years Program
(PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang
mendapat pengakuan dunia dalam kategori The
Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah
saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP).[1]
Dari data yang ditunjukkan oleh
UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development
Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan
penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia
Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati
urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999). Menurut
survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di
Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia
berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia
(2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan
ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Dan masih menurut survai dari
lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai
pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.[2]
Masih
mahalnya biaya pendidikan juga berpengaruh dalam peningkatan kualitas
pendidikan Indonesia. Banyak masyarakat Indonesia menengah ke bawah tidak mampu
mengimbangi kebutuhan-kebutuhan pada saat menempuh jalur pendidikan yang lebih
tinggi. Jika berbicara tentang biaya pendidikan, maka tidak hanya berbicara
tenang biaya sekolah, training, kursus atau lembaga pendidikan formal atau
informal lain yang dipilih, namun juga akan berbicara tentang properti
pendukung seperti buku, dan biaya macam-macam biaya administrasi pendukung
lainnya yang ditempuh untuk dapat sampai ke lembaga pengajaran yang dipilih. Di
sekolah dasar negeri, memang benar jika sudah diberlakukan pembebasan biaya
pengajaran, nemun peserta didik tidak hanya itu saja, kebutuhan lainnya adalah
buku teks pengajaran, alat tulis, seragam dan lain sebagainya. Yang terkadang
diwajibkan oleh pendidik yang bersangkutan.
Faktor Penyebab Rendahnya Kesempatan Pendidikan Indonesia
Rendahnya kualitas pendidikan pada
masyarakat Indonesia tidak hanya disebabkan oleh satu atau dua factor saja.
Berikut adalah faktor-faktor yang dapat dijelaskan mengapa kesempatan
pendidikan di Indonesia begitu rendah:
a. Rendahnya sarana fisik / penunjang
Dalam segi sarana fisik banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi
di Indonesia dengan gedung yang kurang layak, kepemilikan dan penggunaan media
belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak
standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan
masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki
perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
b. Rendahnya kualitas pengajar
Walaupun pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan,
akan tetapi pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi,
sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada
kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Di Indonesia sendiri masih
banyak guru belum memiliki profesionalisme yang memadai dan layak untuk
menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu
merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil
pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian
dan melakukan pengabdian masyarakat.
Kelayakan mengajar jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru
itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas
(1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang
berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000
guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di
tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki
pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru
18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3).
c. Rendahnya kesejahteraan pengajar
Kualitas pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh tingkat
kesejahteraan guru. Rendahnya kesejahteraan pengajar mempunyai peran dalam
membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII
(Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya
seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang,
pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460
ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan
pendapatan seperti itu, sehingga tidak lah heran banyak guru terpaksa melakukan
pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada
sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang
pulsa ponsel, dan sebagainya[3].
d. Rendahnya prestasi siswa
Dengan kondisi kurangnya sarana penunjang, rendahnya kualitas
pengajar dan kesejahteraan pendidik, maka kemudian berpengaruh pada pencapaian
prestasi siswa yang menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi
fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah.
Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa
Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi
matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam
hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai
negara tetangga yang terdekat.
e. Rendahnya kesempatan pemerataan
pendidikan
Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat
Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni
(APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa).
Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan
di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan
pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini
nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara
keseluruhan. Dengan kondisi yang seperti ini, sangat lah diperlukan kebijakan
dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah
ketidakmerataan tersebut.
f. Rendahnya relevansi pendidikan
dengan kebutuhan,
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur.
Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka
pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0
sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama
pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat
pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas
1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki
keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri.
Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini
disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang
dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
g.
Mahalnya biaya pendidikan.
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk
menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam
bangku pendidikan. Banyak akhirnya masyarakat menengah ke bawah memilih untuk
putus sekolah dan mencari kerja sembarang daripada menanggung biaya pendidikan.
Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi
(PT) sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS
(Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai
sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan
Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Lain halnya di Negara-negara maju, seperti Jerman, Prancis, Belanda, dan juga di beberapa
negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya
pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya
pendidikan. Sedangkan di Indonesia sendiri, dalam hal
beasiswa saja terkadang memiliki cara yang panjang dan rumit untuk mengurusnya.
Kualitas dan kesempatan pendidikan
yang rendah ini akhirnya juga berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat.
Kesejahteraan tentu saja berkaitan dengan taraf kerja. Dengan pengetahuan dan
keahlian yang terbatas, maka kompetensi kerja yang ada pun juga ikut terbatas.
Sehingga pada akhirnya timbul pandangan
bahwa orang dengan kemampuan ekonomi pas-pasan juga memiliki keahlian kerja
yang pas-pasan juga, karena itu, kondisi yang seperti ini tentu saja sulit
untuk mencari kerja di daerah kota, dan pada akhirnya menganggur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar