Senin, 20 Februari 2012

Kondisi Pendidikan Indonesia


Kualitas Pendidikan di Indonesia
Memasuki abad ke - 21 gelombang globalisasi dirasakan kuat dan terbuka. Kemajaun teknologi dan perubahan yang terjadi memberikan kesadaran baru bahwa Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia berada di tengah-tengah dunia yang baru, dunia terbuka sehingga orang bebas membandingkan kehidupan dengan negara lain. Terutama pada aspek pendidikan, adanya ketertinggalan didalam mutu pendidikan. Baik pendidikan formal maupun informal. Dan hasil tersebut diperoleh setelah membandingkannya dengan negara lain. Pendidikan memang telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh karena itu, sudah seharusnya perlu dilakukan peningkatan sumber daya manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya manusia di negara-negara lain lewat pendidikan.
Selama ini, banyak pendapat beranggapan bahwa pendidikan formal dinilai hanya menjadi formalitas saja untuk membentuk sumber daya manusia Indonesia. Tidak perduli bagaimana hasil pembelajaran formal tersebut, yang terpenting adalah telah melaksanakan pendidikan di jenjang yang tinggi dan dapat dianggap hebat oleh masyarakat. Anggapan seperti itu jugalah yang menyebabkan efektifitas pengajaran di Indonesia sangat rendah. Data Batlibang (2003) menunjukkan hasil bahwa kualitas pendidikan Indonesia masih rendah. Bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP).[1]
Dari data yang ditunjukkan oleh UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999). Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Dan masih menurut survai dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.[2]
Masih mahalnya biaya pendidikan juga berpengaruh dalam peningkatan kualitas pendidikan Indonesia. Banyak masyarakat Indonesia menengah ke bawah tidak mampu mengimbangi kebutuhan-kebutuhan pada saat menempuh jalur pendidikan yang lebih tinggi. Jika berbicara tentang biaya pendidikan, maka tidak hanya berbicara tenang biaya sekolah, training, kursus atau lembaga pendidikan formal atau informal lain yang dipilih, namun juga akan berbicara tentang properti pendukung seperti buku, dan biaya macam-macam biaya administrasi pendukung lainnya yang ditempuh untuk dapat sampai ke lembaga pengajaran yang dipilih. Di sekolah dasar negeri, memang benar jika sudah diberlakukan pembebasan biaya pengajaran, nemun peserta didik tidak hanya itu saja, kebutuhan lainnya adalah buku teks pengajaran, alat tulis, seragam dan lain sebagainya. Yang terkadang diwajibkan oleh pendidik yang bersangkutan.



 
Faktor Penyebab Rendahnya Kesempatan Pendidikan Indonesia
Rendahnya kualitas pendidikan pada masyarakat Indonesia tidak hanya disebabkan oleh satu atau dua factor saja. Berikut adalah faktor-faktor yang dapat dijelaskan mengapa kesempatan pendidikan di Indonesia begitu rendah:
a.       Rendahnya sarana fisik / penunjang
Dalam segi sarana fisik banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi di Indonesia dengan gedung yang kurang layak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
b.      Rendahnya kualitas pengajar
Walaupun pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan, akan tetapi pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Di Indonesia sendiri masih banyak guru belum memiliki profesionalisme yang memadai dan layak untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat. 
Kelayakan mengajar jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri.  Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3).

c.       Rendahnya kesejahteraan pengajar
Kualitas pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh tingkat kesejahteraan guru. Rendahnya kesejahteraan pengajar mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, sehingga tidak lah heran banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya[3].
d.      Rendahnya prestasi siswa
Dengan kondisi kurangnya sarana penunjang, rendahnya kualitas pengajar dan kesejahteraan pendidik, maka kemudian berpengaruh pada pencapaian prestasi siswa yang menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
e.       Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan
Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Dengan kondisi yang seperti ini, sangat lah diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
f.       Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
g.      Mahalnya biaya pendidikan.
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Banyak akhirnya masyarakat menengah ke bawah memilih untuk putus sekolah dan mencari kerja sembarang daripada menanggung biaya pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Lain halnya di Negara-negara maju, seperti Jerman, Prancis, Belanda, dan juga di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan. Sedangkan di Indonesia sendiri, dalam hal beasiswa saja terkadang memiliki cara yang panjang dan rumit untuk mengurusnya.
Kualitas dan kesempatan pendidikan yang rendah ini akhirnya juga berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan tentu saja berkaitan dengan taraf kerja. Dengan pengetahuan dan keahlian yang terbatas, maka kompetensi kerja yang ada pun juga ikut terbatas. Sehingga pada  akhirnya timbul pandangan bahwa orang dengan kemampuan ekonomi pas-pasan juga memiliki keahlian kerja yang pas-pasan juga, karena itu, kondisi yang seperti ini tentu saja sulit untuk mencari kerja di daerah kota, dan pada akhirnya menganggur.


[1] Efektifitas Pendidikan Di Indonesia. detiknews.com. Akses 11 Agustus 2011
[2] The World Economic Forum Swedia. detiknews.com.
[3] Republika, 13 Juli 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar