Penyelenggaraan pendidikan sekolah yang dilaksanakan
di Indonesia hingga saat ini masih lebih banyak bersifat klasikal massal yang
berorientasi pada kuantitas untuk dapat menghasilkan jumlah siswa
sebanyak-banyaknya. Kelemahan dalam orientasi ini adalah tidak terakomodasinya
kebutuhan individual siswa. Siswa yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat
istimewa tidak terlayani secara baik sehingga potensi yang dimilikinya tidak
dapat tersalur dan berkembang secara optimal.
Sebagai salah satu usaha perbaikan pembelajaran di
Indonesia yang bertujuan meningkatkan mutu pendidikan, maka diadakan program
percepatan (akselerasi). Program ini merupakan pemberian layanan pendidikan
sesuai potensi siswa yang memiliki kecerdasan dan kemampuan belajar yang
tinggi. Hal ini sesuai Undang-Undang no 20 pasal 5 ayat 4 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, menegaskan bahwa "Warga negara yang memiliki
potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan
khusus", dan Permendiknas no. 34/2006 tentang Pembinaan Prestasi Peserta
Didik yang memiliki Potensi Kecerdasan dan / atau Bakat istimewa.
Pada dasarnya kemampuan anak memang berbeda, yang
membedakan adalah waktu belajar. Akan tetapi apabila diberi layanan sesuai
dengan keadaan masing-masing, maka hasilnya akan sama. Siswa yang memiliki
potensi kecerdasan dan bakat istimewa perlu mendapatkan penanganan dan program
khusus, sehingga potensi kecerdasan dapat berkembang secara optimal.
Pengembangan program bagi siswa yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat
istimewa didasarkan prinsip utama, yaitu akselerasi.
Program percepatan belajar (akselerasi) merupakan
program layanan pendidikan yang diberikan kepada siswa yang memiliki potensi
kecerdasan dan bakat istimewa untuk dapat menyelesaikan masa belajarnya lebih
cepat dari siswa yang lain (program regular).
Manajemen program kelas akselerasi sangat diperlukan
agar tujuan program kelas akselerasi dapat tercapai dengan maksimal. Mengelola
program kelas akselerasi artinya mengatur agar seluruh yang terkait dengan
program kelas akselerasi itu berfungsi secara optimal dalam mendukung
tercapainya program kelas akselerasi. Kelas akselerasi dapat ditempuh satu
tahun lebih cepat dari waktu yang dibutuhkan pada kelas reguler. Akselerasi
merupakan proses percepatan belajar siswa, berarti siswa yang memiliki
kecepatan dalam belajar dapat mengikuti pelajaran berikutnya. Kegiatan
pembelajaran ini difungsikan sebagai sarana penguat menuju level berfikir
tinggi melalui model pembelajaran.
Modal yang diperuntukkan bagi peserta didik cerdas
dan berbakat istimewa pada kegiatan pembelajaran kelas akselerasi tidak cukup
hanya dengan standar isi dan standar kompetensi. Dalam kelas akselerasi, pihak
sekolah meningkatkan bobot materi pelajaran dan kegiatan pembelajaran. Guru
dituntut untuk lebih mengetahui menu pembelajaran dengan materi yang sesuai
dengan karakter siswa. Sehingga diperlukan guru yang profesional yang dapat
membimbing siswa dalam mengembangkan kemampuannya, maka manajemen belajar perlu
diatur.
Sehingga
image kelas akselerasi yang timbul adalah
bahwa pembelajaran pada kelas akselerasi berarti suatu proses percepatan (acceleration) pembelajaran yang
dilakukan oleh peserta didik yang memiliki kemampuan luar biasa (unggul) dalam
rangka mencapai target kurikulum Nasional dengan mempertahankan mutu pendidikan
sehingga mencapai hasil yang optimal. Dengan kata lain peserta didik dapat
menyesuaikan cara belajarnya lebih cepat dari siswa lainnya (siswa yang
mengikuti program reguler). Secara singkat akselerasi mengandung pengertian:
1.
Sebagai model pembelajaran
yaitu lompat kelas, dimana peserta didik berbakat yang memiliki kemmampuan
unggul diberi kesempatan untuk mengikuti pelajaran pada kelas yang lebih
tinggi.
2.
Kurikulum atau akselerasi
program, menunjuk pada peringkasan program sehingga dapat dijalankan dalam
waktu yang lebih cepat.
3.
Memperoleh konten materi dengan
irama yang lelbih dipercepat sesuai dengan kemampuan potensial siswa.
Dalam teknis pelaksanaan
pembelajaran, kelas akselerasi umumnya dilayani lebih istimewa, lebih khusus,
terisolasi, lingkungan belajar yang
lebih kaya daripada kelas biasa. Di beberapa tempat kelas akselerasi identik
dengan kelas eksekutif karena ruangannya ber-AC dan perabot yang serba
luks. Padahal, pada dasarnya percepatan
belajar (accelerated learning)
menurut pengertian, adalah sebagai sebuah metode atau strategi pembelajaran pada dasarnya mengakui bahwa setiap
manusia memiliki cara belajar yang dapat mengantarkan dirinya menjadi yang terbaik.
Ketika
seseorang belajar tentang sesuatu yang secara eksak sesuai dengan gaya belajarnya, maka dia akan belajar dalam cara yang natural.
Karena belajar berlangsung natural, maka menjadi
lebih mudah. Karena menjadi lebih mudah, maka belajar menjadi lebih cepat. Itulah
mengapa kemudian disebut pembelajaran
akselerasi. Artinya, prinsip percepatan belajar berlaku bagi semua siswa kategori
apa pun, tidak hanya bagi kelompok siswa tertentu. Pijakan
utama
percepatan belajar adalah didasarkan pada karakteristik siswa.
Menurut Drs. B. Suryo Subroto (1997:123)
akselerasi dikenal dengan nama maju berkelanjutan yang artinya adalah sistem
administrasi kurikulum yang memberikan kesempatan pada setiap siswa dapat
mengikuti pelajaran sesiau irama kecepatan belajrnya sendiri. Maju
berkelanjutan dibagi menjadi 3 sistem, yaitu :
1.
maju
berkelanjutan kelompok
2.
maju
berkelanjutan individu
3.
maju
berkelanjutan berdasarkan perbedaan studi
Terdapat
tiga bentuk atau model penyelenggaraan sekolah akselerasi[1], yakni: (1) Kelas reguler, dimana peserta didik berada dalam kelas
reguler pada sekolah reguler namun memperoleh perlakuan
akselerasi sehingga dapat loncat kelas dan dapat menyelesaikan pendidikan di sekolah itu lebih awal dibanding teman-temannya. (2)
Kelas khusus, dimana beberapa peserta didik dikelompokkan
berada dalam kelas khusus pada sekolah reguler namun
memperoleh perlakuan akselerasi sehingga dapat menyelesaikan pendidikan di
sekolah itu lebih awal dibanding kelas reguler. (3) Sekolah
khusus yakni beberapa peserta didik masuk pada sekolah
khusus akselerasi memperoleh perlakuan akselerasi dengan waktu pendidikan lebih singkat dibanding sekolah regular.
B. Impelementasi
Kelas Akselerasi
Saat
ini disebutkan terdapat lebih dari 130 sekolah dari tingkat TK hingga SMA di
Indonesia yang menyelenggarakan program kelas akselerasi dengan murid lebih
dari 3.000 orang.[2] Seperti
yang disebutkan di sebelumnya, konsep ini awalnya adalah menempatkan siswa yang
berbakat dalam pembinaan khusus, sehingga hasil akhir yang diharapkan adalah
siswa tersebut menjadi istimewa.
Namun
selama ini perkembangan yang adalah program kelas akselerasi hanya dimaknai
sebagai kelas percepatan dengan meringkas masa studi lebih padat dalam
penyampaian materinya, sehingga masa studi menjadi lebih pendek. Sebagai
contoh, kelas regular di SMA seharusnya tiga tahun menjadi dua tahun dengan
menggunakan kelas akselerasi.
Seiring
perkembangannya, dengan menerapkan kelas akselerasi, siswa yang terpilih dalam
pengembangan program ini cenderung dikhawatirkan menjadi eksklusif karena
selama berada di sekolah ada di kelas khusus akselerasi, sedikit kesempatan
bersinggungan dengan siswa atau kondisi reguler. Kelas
akselerasi lebih terlihat ekslusif dan membuat siswanya merasa lebih
dibandingkan dengan siswa reguler sehingga membuat kelompok-kelompok dalam
sekolah.
Disamping
itu, pembinaan potensi anak-anak yang tergabung dalam kelas tersebut juga terbilang
masih kurang terarah, hanya berpedoman pada percepatan dan pemadatan materi
pembelajaran, mengenai proyeksi potensi siswa kurang diperhatikan. Setelah
anak-anak itu lulus dari satuan pendidikan, untuk melanjutkan ke jenjang
pendidikan berikutnya mereka tetap mengikuti tes seperti siswa lain umumnya.
Mereka tidak disalurkan dengan pembinaan yang berkesinambungan ke jenjang
berikutnya.
Oleh
karena itu, pedoman pelaksanaan kelas akselerasi itu diubah. Kelas itu bukan
sekadar program percepatan tahun bersekolah, melainkan merupakan pengayaan dan
pendalaman bagi anak, khususnya untuk Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.[3]
Penyaringan atau seleksi dilakukan untuk memilah, memilih
dan menentukan urutan peringkat dari berbagai hal baik dari kecerdasan (IQ),
prestasi akademik, kesehatan fisik, minat anak, dukungan orangtua, dan prestasi
non akademik.
Oleh
sebab itu lazimnya seleksi masuk sekolah akselerasi didasarkan pada:
1. Aspek akademik meliputi
nilai rapor minimal 8,0, nilai UN/UAN/UASBN minimal 8,0, dan nilai tes masuk minial 8,0.
2. Aspek psikis meliputi IQ
minimal 125, memiliki keberbakatan yang menonjol, memiliki kreativitas tinggi,
dengan bukti surat keteranga/piagam dan karya nyata.
3. Memiliki prestasi
bidang non akademik dari berbagai kejuaraan serendah-rendahnya tingkat
provinsi.
4. Kesehatan fisik dengan
surat keterangan dokter.
5. Minat dan kesanggupan
dari siswa, dibuktikan dari hasil tes minat dan dengan surat pernyataan.
6. Dukungan dan
persetujuan orangtua, dengan surat pernyataan dan kesanggupan.
Dengan
mengikuti kelas akselerasi secara prestis dari segi output nilainya lebih baik,
proses dan semangat belajar di kelas juga lebih efektif. Namun kelemahannya
adalah anak yang mengikuti kelas akselerasi lebih cenderung individualistis,
sehingga pihak sekolah harus mengikutsertakan mereka dalam kegiatan yang sama
dengan kelas lainnya agar tidak merasa eksklusif.
Kurikukum
Kelas Akselerasi
Kurikulum sekolah akselerasi pada dasarnya sama dengan sekolah
reguler, namun kurikulum akselerasi
memfasilitasi percepatan dan pengayaan belajar untuk mengembangkan siswa ke arah yang lebih positif bagi perilaku
kognitif, kreativitas, komitmen terhadap tugas,
perilaku kecerdasan emosi, dan kecerdasan
spiritual. Oleh sebab itu kurikulum akselerasi
memiliki ciri-ciri sebagai berikut.:
1.
Kurikulum yang
menekankan pada materi esensial dan dikembangkan melalui sistem pembelajaran yang dapat memacu dan mewadahi
integrasi antara pengembangan spiritual, logika, etika, dan estetika, serta dapat
mengembangkan kemampuan berfikir holistik, kreatif, sistemik, dan sistematik, linier, konvergen,
dan terfokus.
2.
Kurikulum dikembangkan
secara berdiferensiasi yang menyangkut empat dimensi yang saling berhubungan,
yakni;
a.
Dimensi umum, yaitu
kurikulum yang memberikan keterampilan dasar, pengetahuan, pemahaman, nilai, dan sikap, yang memungkinkan
siswa berfungsi sesuai tuntutan masyarakat dan tuntutan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi.
b.
Dimensi diferensiasi,
yaitu kurikulum yang berkaitan erat dengan ciri khas
perkembangan siswa cerdas dan berbakat
istimewa, yang merupakan program khusus
dan pilihan terhadap bidang studi tertentu.
c.
Dimensi non akademik,
yaitu bagian kurikulum yang memberi kesempatan kepada
siswa untuk belajar di luar kegiatan sekolah
formal melalui media lain seperti radio,
televisi, internet, CD-ROM, wawancara pakar,
kunjungan ke musium, dan sebagainya.
d.
Dimensi suasana
belajar, yaitu pengalaman belajar yang dijabarkan dari lingkungan keluarga dan sekolah. Iklim akademik, sistem
pemberian hadiah dan hukuman, hubungan antar sesama siswa, hubungan antara guru dan siswa,
hubungan antar guru, dan hubungan antara
siswa dan orangtua, merupakan unsur-unsur lingkungan suasana belajar yang menentukan
proses dan hasil belajar.
3.
Kurikulum berdiferensiasi dikembangkan untuk
memenuhi kebutuhan pendidikan siswa yang cerdas dan berbakat dengan cara
memberikan pengalaman belajar yang berbeda dalam arti kedalaman, keluasan,
percepatan, maupun dalam jenisnya. Modifikasi kurikulum dapat dilaksanakan
dengan cara:
a.
Mengenalkan isi kurikulum tertentu yang tidak
diperoleh siswa kelas regular
b.
Memberi materi pelajaran secara lebih luas,
mendalam, dan intensif.
c.
Memberi pengalaman baru yang tidak terdapat
dalam kurikulum umum.
d.
Memberi pengalaman belajar berdasarkan
keterlibatan masyarakat sekitar, melalui kerjasama dengan instansi baik
pemerintah maupun swasta bagi kepentingan siswa maupun instansi.
4.
Dalam pelaksanaannya,
program kegiatan belajar dapat dilakukan secara tatap muka dengan guru pembina, dengan pakar, atau
belajar sendiri berdasarkan bahan yang diberikan guru pembina atau yang dipilih sendiri oleh siswa,
atau berdasarkan modul pengayaan.
5.
Struktur program
kurikulum sekolah akselerasi sama dengan sekolah/kelas reguler, bedanya adalah tempo waktu penyelesaian materi
kurikulum yang lebih cepat dibanding sekolah/kelas reguler.
6.
Kegiatan
belajar-mengajar diarahkan pada terwujudnya proses belajar tuntas. Selain itu strategi pembelajaran juga diarahkan untuk
memacu siswa lebih aktif dan kreatif sesuai
dengan bakat, minat, dan kemampuan
masing-masing siswa
Dampak
Kelas Akselerasi
Penerapan
program akselerasi berdasarkan undang-undang diperbolehkan, yaitu undang-undang
nomor 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional pasal 8 ayat 2. Melalui
program akselerasi, anak akan mendapat keuntungan, karena memperoleh bantuan
pengajaran seusai dengan bakat dan intelektualnya. Dengan program percepatan
diharapkan siswa berbakat tidak bosan dikelas, sehingga tidak menganggu,
mengacau kelas, dan anak dapat maju terus dengan cepat.
Namun
program yang diberlakukan sejak 2004 ini tentu saja
masih terdapat kekurangan maupun perlu adanya evaluasi. Tak sedikit yang
berpendapat bahwa kelas akselerasi justru membuat siswa tidak bisa
mengembangkan kemampuan sosialisasi mereka. Dalam pandangan mereka, anak-anak
berbakat itu tak beda dengan anak pada umumnya yang membutuhkan lingkungan
bergaul yang sepadan dengan emosi anak. Anak-anak tersebut pada dasarnya juga
membutuhkan penghargaan, perwujudan diri, dan pendidikan nilai kemanusiaan.
Pendeknya, dibutuhkan pemikiran matang sebelum memasukkan anak pada program
akselerasi. Dan menurut Meier, dalam pendidikan anak, tidak dapat dipisahkan
antara pikiran, pengetahuan, tubuh, emosi, indera dan lingkungannya.
Pandangan
dan penilaian individu terhadap dirinya disebut dengan konsep diri, yang akan mempengaruhi individu dalam
bertingkah laku ditengah masyarakat
(Burns, 1993). Hurlock (1999) menjelaskan bahwa individu dengan penilaian positif terhadap dirinya akan
menyukai dan menerima keadaan dirinya
sehingga akan mengembangkan rasa percaya diri, harga diri, serta dapat melakukan interaksi sosial secara tepat. Rasa
percaya diri dan harga diri yang tumbuh
seiring dengan adanya keyakinan terhadap kemampuan dirinya membuat individu cenderung tampil lebih aktif dan
terbuka dalam melakukan hubungan sosial
dengan orang lain. Relasi sosial yang luas akan menjadikan inidividu mampu
mengerti dan melakukan apa yang diharapkan oleh lingkungan, sehingga memudahkannya untuk menyesuaikan dengan
keadaan lingkungan.
Sebaliknya,
individu dengan konsep diri negatif adalah individu yang mempunyai pandangan
negatif terhadap dirinya, ia menilai dirinya sebagai figur yang mengecewakan.
Penilaian yang negatif terhadap diri sendiri akan mengarah pada penolakan diri,
sehingga individu akan cenderung mengembangkan perasaan tidak mampu, rendah
diri, dan kurang percaya diri. Individu merasa tidak percaya diri ketika harus berpartisipasi dalam suatu aktivitas
sosial dan memulai hubungan baru dengan
orang lain. Penolakan diri juga dapat memicu munculnya sikap agresif dan
perilaku negatif, sehingga individu menjadi tertutup dan kurang tertarik untuk
menjalin hubungan sosial dengan orang lain.
Karena
itu timbul kesalahpahaman tentang makna dari pandai, cerdas atau pintar. Ketika
orang tua misalnya mengetahui anaknya punya IQ tinggi, bernilai bagus dan gemar
membaca buku, orang tua bergegas memasukkan anak pada program akselerasi,
bahkan berusaha melobi sekolah agar anaknya bisa loncat kelas. Padahal secara
emosi anak tersebut belum tentu dapat menyesuaikan dan masih senang
bermain-main dengan teman sebayanya atau bermanja-manja dengan orang tuanya.
a.
Dampak
sosial
Usia siswa-siswa SMP dapat dikategorikan dalam masa
remaja awal, yaitu 12-15 tahun (Monks,
Knoers, & Haditono, 2004). Memasuki masa remaja, anak mulai melepaskan diri dari ikatan emosi
dengan orang tuanya dan menjalin sebuah hubungan yang akrab dengan teman-teman
sebayanya. Havighurst (dalam Hurlock,
1997) menjelaskan beberapa tugas perkembangan remaja yang berhubungan dengan
perkembangan sosial emosional, yaitu menjalin hubungan dengan teman sebaya baik pria maupun
wanita, mencapai suatu peran sosial baik bagi pria maupun wanita sesuai dengan
jenis kelaminnya, melakukan perilaku
sosial yang diharapkan, dan mencapai suatu kemandirian sosial dari orang tua dan dewasa disekitarnya. Salah satu
tugas perkembangan masa remaja yang
tersulit ialah berhubungan dengan penyesuaian sosialnya.
Remaja harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis
dalam suatu hubungan yang belum pernah dialami sebelumnya dan harus
menyesuaikan dengan orang dewasa diluar lingkungan keluarga dan sekolah. Menurut Iswinarti (2002), sebagian anak
dengan IQ tinggi akan mengalami kesulitan dalam penyesuaian sosial, karena anak
dengan IQ tinggi mempunyai pemahaman yang lebih cepat dan cara berpikir yang
lebih maju sehingga sering tidak sepadan
dengan teman-temannya. Kondisi tersebut semakin tidak diuntungkan dengan adanya
labelling dari lingkungan sekitar terhadap siswa akselerasi. Mead (dalam
Burns, 1993) menjelaskan pandangan, penilaian, dan perasaan individu mengenai
dirinya yang timbul sebagai hasil dari suatu interaksi sosial sebagai konsep diri. Konsep diri
mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap perilaku individu, yaitu individu
akan bertingkah laku sesuai dengan konsep diri yang dimiliki (Rahmat, 1996).
Pernyataan
tersebut didukung oleh Burns (1993) yang menyatakan bahwa konsep diri akan
mempengaruhi cara individu dalam bertingkah laku ditengah masyarakat. Label
yang diberikan pada siswa akselerasi sebagai anak pintar dapat dipersepsi
negatif atau positif oleh individu yang bersangkutan. Label yang dipersepsi
negatif membuat individu menjadi terbebani, hal tersebut cenderung akan membawa
efek negatif terhadap perkembangan sisi psikologisnya. Individu akan merasa
gagal dan terbuang ketika tidak dapat memenuhi tuntutan lingkungan, serta
menjadi tidak percaya diri, merasa tidak berharga, dan rendah diri. Kondisi ini
diperburuk dengan adanya fenomena di masyarakat yang menunjukkan bahwa aspek
kognitif lebih dihargai daripada aspek sosial emosional. Hal tersebut dapat
menimbulkan perasaan tertolak yang memicu munculnya konsep diri negatif pada
siswa akselerasi
Sehingga berpengaruh buruk terhadap kehidupan
sosialnya. Label yang dipersepsi positif oleh siswa membuat individu menjadi
pribadi yang merasa berharga, percaya diri, dan berkemampuan tanpa harus
menjadi sombong. Hal tersebut dapat menunjang adanya penerimaan siswa terhadap
keadaan dirinya, sehingga dapat membuat konsep diri siswa akselerasi menjadi
positif. Perbedaan jenis kelamin
diprediksikan turut mempengaruhi keberhasilan penyesuaian sosial siswa.
Asyanti, Sofiati, dan Sudardjo (2002) menyatakan bahwa terdapat perbedaan
penyesuaian sosial antara perempuan dan laki-laki, yaitu perempuan cenderung lebih mudah untuk
melakukan penyesuaian sosial bila
dibandingkan dengan laki-laki. Perbedaan penyesuaian sosial ini disebabkan karena
perempuan mempunyai perasaan yang lebih peka bila dibandingkan dengan laki-laki
sehingga lebih mudah menghayati perasaan orang lain, dan cenderung mempunyai
hubungan sosial yang lebih akrab dibandingkan laki-laki.
Faktor budaya juga diprediksikan ikut andil terhadap
penyesuaian sosial individu, sebab latar
belakang budaya akan mempengaruhi pembentukan sikap, nilai, dan norma seseorang
(Schneiders, 1964). Individu yang hidup dalam lingkup budaya tertentu akan mengadaptasi
nilai-nilai sosial yang didapat dari lingkungannya dan akan diterapkan dalam
kehidupannya
Untuk mengatasi berbagai persoalan
tersebut, hendaknya pihak sekolah mampu menciptakan program seperti
ekstrakurikuler yang bersifat general, artinya mampu diikuti oleh siswa kelas
reguler ataupun akselerasi secara bersama-sama dan membaur. Seperti: kemah
sosial, karya wisata, dan lomba antarkelas.
Diharapkan program-program tersebut membuat siswa
akselerasi lebih mengenal dan membaur dengan siswa reguler, bahkan dapat
mengembangkan solidaritas sehingga tidak timbul kelompok-kelompok di dalam
sekolah.
Memang tidak mudah untuk masuk kelas
akselerasi, disamping persyaratan yang cukup berat, program kelas akselerasi
masih sedikit peminatnya. Seperti contoh pada siswa di SMA N 3 Semarang, siswa
yang ingin memasuki kelas akselerasi harus lulus tes akademis dan psikologi,
nilai rapor kelas VII hingga kelas IX rata-rata harus 8.
Dari jumlah 435 siswa yang diterima, untuk kuota kelas
akselerasi 20 tempat duduk, hanya sekitar 13 persen siswa yang mengikuti tes
psikologi untuk memasuki kelas akselerasi.[4]
b.
Dampak Psikologis
Memang secara kognitif para siswa kelas
akselerasi dapat berkembang, akan tetapi dengan kesibukan yang luar biasa
akibat materi akselerasi tersebut akhirnya porsi kehidupan sosialnya berkurang.
Berbagai pengalaman sosial sebaya tidak dialami oleh siswa kelas akselerasi,
mengingat porsi pembelajaran siswa akselerasi lebih banyak dibandingkan dengan
siswa reguler. Permasalahan lainnya,
dapat terjadi beberapa siswa yang masuk kelas akselerasi bukan karena
keinginannya (dorongan dari dalam) melainkan karena orang tuanya, karena
dorongan tertekan takut atau ingin menyenangkan orang tua. Sehingga bagi siswa
seperti itu, proses belajarnya tidak dapat maksimal dan tentu juga berdampak
terhadap hasilnya.
Sehingga
memang secara psikologis pada dasarnya anak-anak akselerasi ini sangat rawan
dari segi mentalnya. Akselerasi pendidikan mungkin dapat dilakukan, namun tetap
saja secara psikologis dan mental mental harus memerlukan waktu dan tidak dapat
dilakukan akselerasi. Ketidaksesuaian
umur dengan jenjang pendidikan merupakan suatu masalah dalam psikologis siswa
itu sendiri.
c. Dampak
terhadap Perkembangan Anak
Sekalipun
siswa kelas akselerasi memilliki loncatan perkembangan kognitif dan motorik
kasar, terapi mereka dapat tertinggal pada kematangan perkembangan, baik fisik,
emosi, motorik halus, adaptasi, sosial, bahasa, dan bicara. Ini yang
menyebabkan ketidaksiapan menerima pembelajaran. Bisa juga karena membutuhkan
pendekatan khusus, mereka sulit berprestasi di kelas konvensional atau
klasikal.
Siswa
kelas akselerasi pada umumnya dihadapkan pada dua masalah. Mengeliminasi
kesulitan akibat perkembangannya yang unik, dan juga sekaligus keberbakatannya.
Jika kelas akselerasi dianggap sebagai solusi dan mengatasi beberapa masalah
saja, dari banyak laporan, justru timbul masalah baru. Kondisi ini disebabkan
karena dorongan internal anak-anak berbakat adalah memenuhi rasa
keingintahuannya yang besar melalui eksplorasi dan pengembangan intelektualitasnya.
Dorongan tersebut pada dasarnya membutuhkan penyaluran dan pemenuhan kebutuhan,
dan wajib dipenuhi guna perkembangan anak normal.
Apabila
hanya mengupayakan kelas akselerasi saja, anak sulit terdeteksi sebagai anak
berbakat dan juga tidak akan menerima pendidikan sebagaimana keunikan,
kesulitan, dan kebutuhannya. Kesemua ini mengancam nasibnya di kemudian hari. Apa
yang dibutuhkannya dalam pendidikannya adalah bimbingan guru yang memahami
berbagai karakteristiknya, personalitasnya, tumbuh kembangnya, gaya berpikir,
dan gaya belajarnya, yang memang berbeda dari anak-anak normal pada umumnya.
Mereka
membutuhkan pendekatan pembelajaran dua arah sekaligus. Pertama ke arah
kesulitannya di mana ia membutuhkan dukungan, stimulasi, terapi, remedial
teaching, dan kesabaran. Kedua, membutuhkan berbagai materi yang sesuai dengan
karakteristik berpikir seorang anak berbakat yang lebih kepada materi yang
penuh tantangan pengembangan kreativitas dan analisis.
Sekolah
reguler yang mampu menerima anak-anak berbakat diharapkan agar dapat mengikuti
pendidikan saat di fase-fase sulitnya di kelas-kelas sekolah dasar bersama anak
normal lainnya, sekaligus juga menerima layanan pengembangan keberbakatan,
disebut sekolah inklusi. Guru diharapkan dapat membimbingnya menapaki tahapan
tumbuh kembangnya yang sulit tersebut dalam situasi aman agar ia dapat tumbuh
dan berkembang secara sehat dalam lingkungan yang nyaman.
Guna
memenuhi hal ini, guru perlu mendapatkan pelatihan-pelatihan yang memadai dan
selalu mengikuti penyegaran keilmuan guna mengikuti perkembangan strategi
pengajaran yang didukung oleh hasil-hasil penelitian mutakhir (evidence based practice) yang kini
sangat pesat berkembang.
Kelas
Akselerasi lewat kacamata Pendekatan Kognitif
Sebagai suatu pendekatan, maka psikologi kognitif
dapat dipandang sebagai cara tertentu di dalam mendekati berbagai fenomena
psikologi manusia. Konsep ini menekankan pada peran-peran persepsi,
pengetahuan, ingatan, dan proses-proses berpikir bagi perilaku manusia. Di dalam dunia psikologi,
mempelajari psikologi kognitif sangat diperlukan, dikarenakan:
1.
Kognisi
adalah proses mental atau pikiran yang berperan penting dan mendasar bagi
studi-studi psikologi manusia.
2.
Pandangan
psikologi kognitif banyak mempengarui bidang-bidang psikologi yang lain.
Misalnya pendekatan kofnitif banyak digunakan di dalam psikologi konseling,
psikologi konsumen dan lain-lain.
3.
Melalui
prinsiprinsip kognisi, seseorang dapat mengelola informasi secara efisien dan
terorganisasikan dengan baik.
Kelas
akselerasi pada awalnya dianggap sebagai solusi terbaik untuk memenuhi kebutuhan belajar bagi siswa dengan
IQ tinggi, karena sesuai dengan pendapat
Terman (dalam Hawadi, 2004) yang menyatakan bahwa siswa dengan IQ di atas normal akan superior dalam
kesehatan, penyesuaian sosial, dan sikap moral.
Kesimpulan ini menimbulkan mitos bahwa siswa dengan IQ tinggi adalah anak yang berbahagia dan mudah menyesuaikan
diri dengan lingkungan.
Namun,
sebagian kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kelas akselerasi tidak sebaik
yang diharapkan dan ditengarai membawa dampak negatif terhadap kehidupan sosial siswa. Siswa menjadi
berkurang kesempatannya untuk bergaul dan
berinteraksi dengan teman karena dituntut untuk selalu berhadapan dengan materi pelajaran, bahkan jam-jam yang
seharusnya digunakan untuk program ekstrakurikuler juga dialokasikan untuk
praktikum atau evaluasi materi pelajaran.
Terkesampingkannya
aspek sosial emosional dalam kehidupan sehari-hari tampak pada fenomena dari para orang tua yang
cenderung lebih bangga melihat anaknya
menjadi juara kelas daripada menjadi penolong bagi temannya yang mengalami kesulitan pelajaran. Kenyataan di masyarakat
juga menunjukkan bahwa aspek kognitif
cenderung lebih dihargai daripada aspek sosial emosional. Hal tersebut tampak pada iklan di media massa,
yang menunjukkan bahwa anak dinilai hebat jika mampu memecahkan persoalan
matematis yang rumit dan seakan-akan melupakan pentingnya kemampuan
berinteraksi dengan lingkungan.
Kelas
akselerasi merupakan kelas percepatan pembelajaran yang disajikan kepada
siswa-siswa yang memiliki kemampuan lebih atau istimewa dengan materi-materi
atau kurikulum yang padat sehingga dalam waktu dua tahun siswa telah
menyelesaikan pendidikannya. Dave Meier (2002:25-26) menulis beberapa prinsip pokok
akselerasi pembelajaran, yaitu:
1. Adanya keterlibatan total pembelajar
dalam meningkatkan pembelajaran.
2. Belajar bukanlah mengumpulkan
informasi secara pasif, melainkan menciptakan pengetahuan secara aktif.
3. Kerjasama diantara pembelajar sangat
membantu meningkatkan hasil belajar.
4. Belajar berpusat aktivitas sering
lebih berhasil daripada belajar berpusat presentasi.
5. Belajar berpusat aktivitas dapat
dirancang dalam waktu yang jauh lebih singkat daripada waktu yang diperlukan
untuk merancang pengajaran dengan presentasi.
Menurut Socrates dan John Dewey,
belajar merupakan suatu kegiatan yang dilakukan secara mental dan fisik yang
diikuti dengan kesempatan merefleksikan hal-hal yang dilakukan dari hasil
perilaku tersebut. Menurut prinsip konstruktivisme, seorang pengajar atau guru,
dan dosen berperan sebagai mediator dan fasilitator yang membantu proses
belajar siswa dan mahasiswa agar berjalan dengan baik.
Fungsi
mediator dan fasilitator dapat dijabarkan dalam beberapa tugas sebagai berikut:
1. Menyediakan pengalaman belajar yang
memungkinkan siswa bertanggungjawab dalam membuat rancangan, proses, dan
penelitian.
2. Menyediakan atau memberikan
kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa.
3. Memonitor, mengevaluasi, dan
menunjukkan apakah pemikiran si siswa jalan atau tidak.
Sebagai
sebuah proses pendidikan, dalam pelaksanaan kelas akselerasi berarti sangat memerlukan
pentahapan yang matang. Seperti pada dataran pengajar/pendidik yang dimana para
guru yang menangani pendidikan akselerasi hendaknya perlu mengikuti bimbingan
dan pelatihan dan pembekalan-pembekalan.
Jika
kecerdasan dipakai sebagai alat identifikasian, maka dalam kelas akselerasi ini
kecerdasan adalah semata-mata kategori untuk
mengidentifikasi karakteristik siswa. Dengan demikian, sudahsemestinya
program percepatan belajar diberikan kepada kelompok siswa kategori apa pun.
Jikasekolah akan melaksanakan program percepatan belajar berdasarkan identifikasian
kecerdasan,maka harus ditujukan untuk semua
anak sesuai dengan kecenderungan kategori kecerdasan mereka.
Identifikasian kecerdasan dengan skor IQ, seperti
yang sekarang dilakukan banyak sekolah untuk membuat kelas yang disebut
unggulan, telah membuat tindakan sekolah diskriminatif bahkan sesat dalam
memberikan pelayan belajar siswa secara keseluruhan. Sebab, sekolah menganggap siswa yang tidak mencapai skor IQ 120 termasuk ke dalam
kelompok siswa yang tidak perlu mendapat pelayanan belajar lebih.
Implementasi
program percepatan belajar versi Depdiknas yang didasarkan pada identifikasian
skor IQ yang dilakukan sekolah saat ini
akan menimbulkan dampak buruk. Pertama, menimbulkan kecemburuan karena perlakuan yang
diskriminatif. Guru akan lebih banyakmenaruh perhatian kepada kelas
khusus ini ketimbang kelas biasa. Di satu sisi melindungi hak asasi anak yang
dianggap luar biasa untuk mendapatkan pelayanan lebih, tetapi sesungguhnya di sisi lain juga terjadi pelanggaran hak asasi
karena siswa biasa pun berhak mendapatpelayanan maksimal.
Kedua,
menimbulkan rasa teralienasi (tersisihkan dari lingkungan sekolah) bagi
sebagian besar siswa dikategorikan kurang cerdas, yang akan memicu
rendahnya motivasi belajar, dan bahkanmungkin akan memicu perilaku menyimpang
karena mereka merasa karakternya telah terbunuh oleh sistem kelas yang
diciptakan sekolah.Ketiga, demikian
sebaliknya, ada peluang bagi sebagian siswa yang termasuk ke dalam kelasunggulan
akan berperilaku egois, angkuh, dan cenderung tidak mau mendengar pendapat
oranglain. Testimoni kepada beberapa orangtua yang anak-anaknya pernah termasuk
ke dalam kelascepat di SMA PPSP tahun 1980-an menampakkan gejala-gejala
psikologis seperti itu.
Teori baru
telah menunjukkan bahwa kecerdasan berdimensi
majemuk. Teori multipleintelligences Howard Gardner yang
telah teruji secara empiris di dalam kelas, yang juga didukung temuan-temuan di bidang neuro science tentang
fungsi otak kanan dan otak kiri, adalah teori baru yang layak dijadikan
landasan teori untuk membuat kategori kecerdasan siswa. Gardner telah mengidentifikasi kecenderungan kecerdasan manusia menjadi
sembilan jenis,yaitu linguistik, logiko - matematikal, musikal, spasial-visual,
kinestetik - jasmani, intrapersonal, interpersonal, naturalis, dan spiritual
atau eksistensial.
Orang yang kurang cerdas di bidang logiko - matematikal
mungkin cerdas luar biasa di bidang musik, mungkin kinestetik, mungkin spasial-visual. Sementara identifikasi kecerdasan anak yang
didasarkan pada skor IQ, notabennya mengukur kecerdasan
logika-matematikal dan sedikit linguistik.
Oleh
karena itu, identifikasian kecerdasan luar biasa
yang hanya ditentukan berdasarkan skor IQ
hanya mengukur dua dimensi saja. Betapa indahnya sekolah
jika dapat melayani semua karakteristik
siswa sesuai dengan kecenderungan kecerdasannya secara
optimal. Tidak hanya sekelompok kecil siswa yang cerdas logiko-matimatikal saja
yang mendapat pelayanan khusus, tetapi juga kelompok-kelompok siswa yang memiliki kecenderungan kecerdasan yang lain.
[1] Depdiknas, 2003
[2] Eko Djatmiko,
Direktur Pendidikan Luar Biasa, Departemen Pendidikan Nasional-RI
[3] http://fnoor.wordpress.com/2008/01/14/kelas-akselerasi-pembinaan-potensi-anak-kurang-jelas/. Akses 12 Agustus
2011
[4] Kelas
akselerasi ganggu masalah social siswa. Antara News.com Senin, 5 Juli
2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar